Gajah Mada diduga lahir di Desa Modo yang termasuk Kabupaten
Lamongan. Buktinya, di tempat itu ada petilasan yang dipercaya sebagai
tempat kelahiran sang Mahapatih Amangkubumi.
Sejumlah cerita rakyat yang umum dikisahkan di wilayah pedalaman
Lamongan mengenai keberadaan patih yang terkenal dengan Sumpah Palapanya
tersebut di Lamongan. Cerita rakyat itu menuturkan bahwa Gajah Mada
adalah anak kelahiran Desa Mada (sekarang Kecamatan Modo/Lamongan). Di
era Kerajaan Majapahit, wilayah Lamongan bernama Pamotan.
Berbagai cerita rakyat “versi Lamongan” tentang lahirnya Gajah Mada:
Gajah Mada adalah anak Raja Majapahit secara tidak sah (Lembu Peteng)
dengan gadis cantik anak seorang Demung (Kepala Desa) Kali Lanang. Anak
itu dinamai Jåkå Mådå atau jejaka dari Desa Mada. Diperkirakan
kelahirannya sekitar tahun 1300.
Selanjutnya oleh kakek Gajah Mada yang bernama Empu Mada, Jåkå Mådå
dibawa pindah ke Desa Cancing/Ngimbang. Wilayah yang lebih dekat dengan
Biluluk, salah satu Pakuwon di Pamotan, benteng Majapahit di wilayah
utara. Sementara benteng utama berada di Pakuwon Tenggulun/Solokuro.
Di daerah Modo dan sekitarnya, termasuk Pamotan, Ngimbang, Bluluk,
Sukorame dan sekitarnya, tersebar folklore atau cerita rakyat. Dongeng
tutur tinular mengisahkan bahwa Gajah Mada adalah kelahiran wilayah Modo
situ.
Daerah Modo-Ngimbang-Pamotan-Bluluk dan sekitarnya memang ibukota
sejak zaman Kerajaan Kahuripan Airlangga, bahkan anak-cucunya juga
mendirikan ibukota di situ, karena strategis, alamnya bergunung-gunung,
bagus untuk pertahanan, dan dekat dengan Kali Lamongan yang merupakan
cabang utama Sungai Brantas.
Sudah ada jalan raya Kahuripan-Tuban yang dibatasi Sungai Bengawan
Solo di pelabuhan Bubat — kini bernama kota Babat (?) –. Ibukota ini
baru digeser oleh cicit Airlangga ke arah Kertosono-Nganjuk, dan baru di
zaman Jayabaya digeser lagi ke Mamenang, Kediri. Selanjutnya oleh Ken
Arok digeser masuk lagi ke Singosari.
Baru oleh Raden Wijaya dikembalikan ke arah muara, yaitu ke Tarik,
namun anaknya yang akan dijadikan penggantinya, yakni Tribuana
Tunggadewi, diratukan di daerah Lamongan-Pamotan-Bluluk lagi, yaitu
Kahuripan. Jadi Tribuana Tunggadewi sebelum jadi Ratu Majapahit adalah
Bre Kahuripan alias Rani Kahuripan, Lamongan.
Ketika Gajah Mada menyelamatkan Raja Jayanegara dari amukan
pemberontak Ra Kuti, dibawanya Jayanegara ke arah Lamongan, yakni
Badander / bisa Badander Bojonegoro, bisa Badander Kabuh, Jombang,
dua-duanya rutenya ke arah Lamongan (dalam hal ini adalah
Pamotan-Modo-Bluluk dan sekitarnya).
Kronik sejarah lain menerangkan bahwa Bedander adalah Blitar lama.
Itu sesuai Teori Masa Anak-anak, di mana kalau anak kecil atau remaja
berkelahi di luar desanya, pasti lari menyelamatkan diri ke desanya
minta dukungan, tentu karena di desanya ada banyak teman, kerabat maupun
guru silatnya. Gajah Mada pasti juga menerapkan taktik itu. Di wilayah
Ngimbang-Bluluk sampai sekarang ada situs kuburan Ibunda Gajah Mada,
yakni Nyai Andongsari.
Di dekat situ pula ada situs kuburan kontroversial, karena ada
kuburan yang diyakini sebagai kuburan Gajah Mada namun dalam posisi
“Islam”, karena kuburannya menghadap ke arah yang persis sebagaimana
kuburan orang Islam. Tapi tidak ada asatupun bukti sejarah yang dapat
meyakinkan bahwa kuburan tersebut adalah kuburan Gajah Mada.
Masih legenda desa Mada Lamongan, Gajah Mada yang diduga anak desa
Modo, Lamongan dengan ibu asal desa Modo, tetapi ayahnya berasal dari
keturunan Timur Tengah/Arab, untuk sementara ada dugaan bahwa beliau ada
silsilah keturunan dengan Syekh Subaqir, juga ada dugaan bahwa Syekh
Subaqir adalah Muhammad al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin
Ali bin Abu Thalib, seorang Wali “angkatan pertama” Tanah Jawa.
Ada bukti dari pertemuan ghoibiyah; beberapa winasis asal desa
Karangpakis, Kabuh, bahwa beliau beragama Islam dan berperawakan tegap
tinggi besar. Gajah Mada ditemukan oleh Ronggo Lawe, adipati Tuban.
Dalam perjalanan dari Tuban ke desa Matokan, dekat Kabuh. Sewaktu itu
Raden Wijaya mendirikan kerajaan Majapahit di daerah ini, yaitu dataran
tinggi dengan nama dusun Njeladri, desa Karangpakis, Kabuh, Jombang.
Di desa Modo, perbatasan Jombang Lamongan ini, Ronggo Lawe melihat
seorang anak usia belasan tahun yang berperawakan tegap gagah sedang
berkelahi, kemudian Ronggo Lawe mengasuh anak ini, namanya Trimo, di
Tuban. Setelah usia yang cukup Trimo dimasukkan ke dalam prajurit
kerajaan Majapahit oleh Ronggo Lawe dengan pangkat bêkêl.
Sewaktu pemberontakan Ra Kuti dan Ra Tanca di era Raja Jayanegara,
bêkêl. Gajah Mada dan lima belas orang bhayangkara yang menyelamatkan
raja Jayanagara ke Bedander. Dari kejaran telik sandi Ra Kuti yang
disebar di seluruh prajurit Majapahit dan meminta nasehat ke kakeknya
yaitu Mbah Wonokerto.
Kakek atau Buyut Gajah Mada di desa Bedander ini yaitu mbah Wonokerto
pernah meramalkan bahwa kejadian ini akan membawa Trimo/Gajah Mada akan
menjadi orang besar di Majapahit, waktu itu Gajah Mada menjadi pemimpin
pasukan Bhayangkara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar