Pada zaman kolonial, pemerintah Belanda berkepentingan untuk menarik
modal-modal besar Belanda dan negara-negara Eropa lainnya serta Amerika
untuk datang di Indonesia. Khusus untuk keperluan ini pemerintah harus
dapat memberikan hak-hak tanah yang selain sesuai untuk tanaman tahunan
jangka panjang seperti karet, kopi, kina dan lain-lain, juga harus dapat
menjamin keuntungan yang diharapkan pada perusahaan-perusahaan yang
bersangkutan. Itulah sebabnya pemerintah Belanda mengeluarkan
Undang-undang Agraria 1870 tang antara lain memberikan hak erfpacht
(sewa turun menurun), hak opstal, hak eigendom, hak sewa dan lain-lain.
Hak-hak ini dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) diubah menjadi
hak-hak guna usaha, hak guna pembangunan, hak milik, hak pakai dan
lain-lain dengan batas waktu 20-25 tahun. Juga hak-hak konsesi waktu itu
diberikan untuk waktu 99 tahun meliputi areal tanah yang luas untuk
perusahaan-perusahaan yang bersangkutan.
Demikianlah setiap sistem hubungan pertanahan harus selalu
disesuaikan dengan keperluan pada suatu waktu tertentu, pada macam
tanaman dan tujuan-tujuan sosial ekonomis tertentu. Land-reform yang
tertentu tidak lepas dari tujuan-tujuan politis, sosial, dan ideologis,
selalu tidak dapat dipisahkan dari tujuan ekonomis yaitu peranan tanah
sebagai satu faktor produksi yang amat penting. Tidak hanya bagi tanaman
perkebunan-perkebunan besar yang mengusahakan tanaman-tanaman
perdagangan, tetapi juga bagi tanah-tanah rakyat yang kecil-kecil untuk
tanaman bahan makanan pun kebijaksanaan land-reform yang tepat hanya
bisa didasarkan pada keadaan yang praktis yang terdapat di negara kita
yang sudah dipraktekkan oleh petani-petani kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar