Kamis, 29 September 2016

Tujuan Pembangunan Pertanian

Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dijelaskan bahwa pembangunan pertanian diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju, efisien, dan tangguh. Maju, efisien, dan tangguh dalam ekonomi pertanian mencakup konsep-konsep mikro dan makro yaitu, bagi sektor pertanian sendiri maupun dalam hubungannya dengan sektor-sektor lain diluar pertanian, misalnya industri, transpor, perdagangan, dan keuangan/perkreditan.

Selanjutnya pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan hasil dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, peternak, dan nelayan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor. Untuk itu semua dilanjutkan dan ditingkatkan usaha-usaha difersifikasi, intensifikasi, dan ekstensifikasi, serta rehabilitasi tanah-tanah kritis.

GBHN ini menggambarkan situasi dan kondisi pertanian Indonesia menjelang berakhirnya Pelita IV. Pelita V (1989-1994) merupakan tahap yang diistilahkan sebagai “pemantapan landasan menuju tinggal landas”, sedangkan tinggal landas dipahami sebagai tahap dimana pembangunan akan bisa berjalan atas dasar kekuatan dan kemampuannya sendiri tanpa menggantungkan pada kekuatan-kekuatan dari luar.

Kepercayaan bangsa Indonesia untuk bisa membangun atas kekuatan sendiri semakin kuat setelah berhasil mencapai tingkat swasembada beras pada tahun 1985. Pada tahun itu produksi beras mencapai 26,5 juta ton yang berarti dengan jumlah penduduk 164 juta, persediaan beras per kapita mencapai sebesar 162 kg suatu jumlah yang sangat tinggi. Impor sama sekali dihentikan pada tahun 1985 dan ingin dipertahankan untuk seterusnya. Kemampuan Indonesia mencapai tingkat swasembada setelah berusaha selama 15 tahun telah lebih meningkatkan kepercayaan diri bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan pertanian, dan pembangunan bidang-bidang lain.

Sukses dalam upaya peningkatan produksi beras merupakan hasil program BIMAS yang dilaksanakan secara terpadu, konsisten, dan terus menerus, dibawah koordinasi Departemen Pertanian. Program Bimas telah mengerahkan potensi nasional dalam lahan sawah andalan di Jawa dan luar Jawa, disertai subsidi atas harga sarana produksi khususnya pupuk, penyediaan air irigasi yang relatif melimpah dan penetapan harga dasar yang cukup merangsang. Harga dasar dinaikkan setiap tahun pada bulan Februari dan diumumkan menjelang musim tanah pada bulan Oktober-November tahun sebelumnya.

Melalui berbagai upaya tersebut, produksi padi meningkat 4,9% pertahun antara 1969-1985, lebih tinggi dibanding kenaikan konsumsi yang diperkirakan sebesar 3,0-3,5%. Maka terjadilah akumulasi kelebihan produksi yang mengurangi kebutuhan akan impor beras, sehingga tercapai swasembada.

Tetapi sukses dibidang program Bimas juga memerlukan biaya ekonomi yang tidak kecil. Pertama, berkurangnya perhatian terhadap komoditi pangan lain dan juga terhadap komoditi perkebunan. Semua tanaman pangan meningkat dengan laju dibawah kenaikan produksi beras.

Kenaikan produksi yang lebih di Jawa dibandingkan dengan luar Jawa merupakan fenomena yang menarik. Lahan sawah andalan untuk tanaman padi 54% ada di Jawa, dan hanya 46% di seluruh pulau-pulau lain di luar Jawa, padahal luas wilayah Jawa hanya 6,5% dari seluruh wilayah Indonesia. Ini berarti pulau Jawa yang dihuni sekitar 65% dari seluruh penduduk Indonesia memang mendapat beban menghsilkan beras bagi hampir seluruh penduduknya. Pada tahun 1985, pada saat produksi beras mencapai 26,5 juta ton, 62%-nya dihasilkan oleh Pulau Jawa. Intensitas tanaman padi yang amat tinggi memang hanya mungkin dilakukan dilahan sawah berpengairan baik yaitu melalui pertanaman ganda (multiple cropping). Di Jawa lahan basah merupakan 94% dari keseluruhan tanaman padi yang menyumbang 97% dari produksi total, yang berarti lahan kering hanya menyumbang 3% dari seluruh produksi padi.

Sementara itu, kebijaksanaan pembangunan pertanian yang ditekankan pada peningkatan produksi beras telah menimbulkan dampak negatif bagi produsen padi, karena semakin melimpahnya produksi berakibat menurunnya nilai (dasar) tukar beras dengan harga-harga barang konsumsi yang dibeli petani dan juga harga sarana produksi. Penurunan nilai tukar ini pasti lebih deras lagi apabila tidak ditetapkan harga dasar oleh pemerintah.

Pada saat produksi beras mulai mendekati tingkat swasembada, penurunan nilai tukar ini semakin terlihat jelas. Selama periode 1976-1986 nilai tukar beras dan harga barang-barang yang dibeli petani turun 27% sedangkan nilai tukarnya dengan harga sarana produksi turun 15%.

Ini berarti keberhasilan dalam produksi beras ternyata tidak selalu diikuti peningkatan pendapatan atau kesejahteraan petani padi. Indikator lain yang menunjukkan hal yang sama adalah perbandingan kenaikan upah buruh dalam pertanian pangan padi, perkebunan, serta sektor-sektor bangunan dan industri manufaktur. Selama periode 1977-1983 upah buruh dalam pertanian padi naik sedikit sekali yaitu 2,7% pertahun, sedangkan sektor-sektor bangunan dan manufaktur naik masing-masing 4,6% dan 4,5%, dan sektor perkebunan paling tinggi, yaitu 12,7% per tahun.

Dapat disimpulkan bahwa keberhasilan kita mencapai swasembada beras yang besar sekali sumbangannya bagi kemantapan pembangunan nasional, yang dibarengi oleh penurunan dasar tukar hasil padi, berarti, keberhasilan dan kemantapan pembangunan nasional telah dicapai untuk sebagian atas pengorbanan petani padi. Dari segi lain bisa dikatakan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian pangan telah berhasil “memantapkan” pembangunan sektor-sektor lain secara cukup meyakinkan. Bahwa tidak berlebihan bila dikatakan bahwa aneka gejolak ekonomi dan sosial politik baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri telah berhasil di redam oleh keberhasilan pembangunan pertanian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar