Dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dijelaskan bahwa
pembangunan pertanian diarahkan pada berkembangnya pertanian yang maju,
efisien, dan tangguh. Maju, efisien, dan tangguh dalam ekonomi pertanian
mencakup konsep-konsep mikro dan makro yaitu, bagi sektor pertanian
sendiri maupun dalam hubungannya dengan sektor-sektor lain diluar
pertanian, misalnya industri, transpor, perdagangan, dan
keuangan/perkreditan.
Selanjutnya pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan hasil
dan mutu produksi, meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani,
peternak, dan nelayan, memperluas lapangan kerja dan kesempatan
berusaha, menunjang pembangunan industri serta meningkatkan ekspor.
Untuk itu semua dilanjutkan dan ditingkatkan usaha-usaha difersifikasi,
intensifikasi, dan ekstensifikasi, serta rehabilitasi tanah-tanah
kritis.
GBHN ini menggambarkan situasi dan kondisi pertanian Indonesia
menjelang berakhirnya Pelita IV. Pelita V (1989-1994) merupakan tahap
yang diistilahkan sebagai “pemantapan landasan menuju tinggal landas”,
sedangkan tinggal landas dipahami sebagai tahap dimana pembangunan akan
bisa berjalan atas dasar kekuatan dan kemampuannya sendiri tanpa
menggantungkan pada kekuatan-kekuatan dari luar.
Kepercayaan bangsa Indonesia untuk bisa membangun atas kekuatan
sendiri semakin kuat setelah berhasil mencapai tingkat swasembada beras
pada tahun 1985. Pada tahun itu produksi beras mencapai 26,5 juta ton
yang berarti dengan jumlah penduduk 164 juta, persediaan beras per
kapita mencapai sebesar 162 kg suatu jumlah yang sangat tinggi. Impor
sama sekali dihentikan pada tahun 1985 dan ingin dipertahankan untuk
seterusnya. Kemampuan Indonesia mencapai tingkat swasembada setelah
berusaha selama 15 tahun telah lebih meningkatkan kepercayaan diri
bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan pertanian, dan
pembangunan bidang-bidang lain.
Sukses dalam upaya peningkatan produksi beras merupakan hasil program
BIMAS yang dilaksanakan secara terpadu, konsisten, dan terus menerus,
dibawah koordinasi Departemen Pertanian. Program Bimas telah mengerahkan
potensi nasional dalam lahan sawah andalan di Jawa dan luar Jawa,
disertai subsidi atas harga sarana produksi khususnya pupuk, penyediaan
air irigasi yang relatif melimpah dan penetapan harga dasar yang cukup
merangsang. Harga dasar dinaikkan setiap tahun pada bulan Februari dan
diumumkan menjelang musim tanah pada bulan Oktober-November tahun
sebelumnya.
Melalui berbagai upaya tersebut, produksi padi meningkat 4,9%
pertahun antara 1969-1985, lebih tinggi dibanding kenaikan konsumsi yang
diperkirakan sebesar 3,0-3,5%. Maka terjadilah akumulasi kelebihan
produksi yang mengurangi kebutuhan akan impor beras, sehingga tercapai
swasembada.
Tetapi sukses dibidang program Bimas juga memerlukan biaya ekonomi
yang tidak kecil. Pertama, berkurangnya perhatian terhadap komoditi
pangan lain dan juga terhadap komoditi perkebunan. Semua tanaman pangan
meningkat dengan laju dibawah kenaikan produksi beras.
Kenaikan produksi yang lebih di Jawa dibandingkan dengan luar Jawa
merupakan fenomena yang menarik. Lahan sawah andalan untuk tanaman padi
54% ada di Jawa, dan hanya 46% di seluruh pulau-pulau lain di luar Jawa,
padahal luas wilayah Jawa hanya 6,5% dari seluruh wilayah Indonesia.
Ini berarti pulau Jawa yang dihuni sekitar 65% dari seluruh penduduk
Indonesia memang mendapat beban menghsilkan beras bagi hampir seluruh
penduduknya. Pada tahun 1985, pada saat produksi beras mencapai 26,5
juta ton, 62%-nya dihasilkan oleh Pulau Jawa. Intensitas tanaman padi
yang amat tinggi memang hanya mungkin dilakukan dilahan sawah
berpengairan baik yaitu melalui pertanaman ganda (multiple cropping). Di
Jawa lahan basah merupakan 94% dari keseluruhan tanaman padi yang
menyumbang 97% dari produksi total, yang berarti lahan kering hanya
menyumbang 3% dari seluruh produksi padi.
Sementara itu, kebijaksanaan pembangunan pertanian yang ditekankan
pada peningkatan produksi beras telah menimbulkan dampak negatif bagi
produsen padi, karena semakin melimpahnya produksi berakibat menurunnya
nilai (dasar) tukar beras dengan harga-harga barang konsumsi yang dibeli
petani dan juga harga sarana produksi. Penurunan nilai tukar ini pasti
lebih deras lagi apabila tidak ditetapkan harga dasar oleh pemerintah.
Pada saat produksi beras mulai mendekati tingkat swasembada,
penurunan nilai tukar ini semakin terlihat jelas. Selama periode
1976-1986 nilai tukar beras dan harga barang-barang yang dibeli petani
turun 27% sedangkan nilai tukarnya dengan harga sarana produksi turun
15%.
Ini berarti keberhasilan dalam produksi beras ternyata tidak selalu
diikuti peningkatan pendapatan atau kesejahteraan petani padi. Indikator
lain yang menunjukkan hal yang sama adalah perbandingan kenaikan upah
buruh dalam pertanian pangan padi, perkebunan, serta sektor-sektor
bangunan dan industri manufaktur. Selama periode 1977-1983 upah buruh
dalam pertanian padi naik sedikit sekali yaitu 2,7% pertahun, sedangkan
sektor-sektor bangunan dan manufaktur naik masing-masing 4,6% dan 4,5%,
dan sektor perkebunan paling tinggi, yaitu 12,7% per tahun.
Dapat disimpulkan bahwa keberhasilan kita mencapai swasembada beras
yang besar sekali sumbangannya bagi kemantapan pembangunan nasional,
yang dibarengi oleh penurunan dasar tukar hasil padi, berarti,
keberhasilan dan kemantapan pembangunan nasional telah dicapai untuk
sebagian atas pengorbanan petani padi. Dari segi lain bisa dikatakan
bahwa keberhasilan pembangunan pertanian pangan telah berhasil
“memantapkan” pembangunan sektor-sektor lain secara cukup meyakinkan.
Bahwa tidak berlebihan bila dikatakan bahwa aneka gejolak ekonomi dan
sosial politik baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri telah
berhasil di redam oleh keberhasilan pembangunan pertanian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar