Kamis, 22 September 2016

Perbedaan Petanian di Jawa dan di Luar Jawa

Indonesia negara yang luas sekali. Demikian pula pertaniannya. Pertanian kopi dan karet di Aceh mempunyai pola dan sistem yang berbeda dengan pertanian bawah merah di Jawa Tengah atau pertanian sayur-sayuran di Malang. Dengan demikian hampir tidak mungkin kita mengadakan generalisasi tentang sistem dan pola di Indonesia.

Pola kehidupan pertanian di Jawa berbeda dengan di luar Jawa terutama karena perbedaan perbandingan antara jumlah petani dengan tanah yang tersedia untuk kehidupannya. Pulau Jawa pada tahun 1974 di diami oleh 64% dari seluruh penduduk Indonesia, padahal daerahnya hanya 7% dari seluruh daerah Indonesia. Dengan demikian Jawa paling padat penduduknya.

Pembagian penduduk petani yang tidak seimbang antara Jawa dan luar Jawa menimbulkan corak kehidupan pertanian yang sangat berbeda. Jawa mempunyai sistem pertanian yang labor intensive (padat karya) sedangkan luar Jawa kurang labor intensive, menggunakan sebagian besar tanah pertaniannya untuk memproduksi tanaman bahan makanan seperti padi, jagung, dan ketela. Sedangkan daerah luar Jawa menyisihkan sebagian besar tanahnya untuk tanaman-tanaman perdagangan seperti karet, kelapa, kopi, lada dan lain-lain. Pulau Jawa berkembang pertaniannya lebih dulu daripada pulau-pulau di luar Jawa. Pada waktu modal asing mulai datang di Indonesia secara besar-besaran (mulai tahun 1870) maka baik tanaman-tanaman bahan makanan maupun tanaman perdagangan mulai dikembangkan di Jawa.

Karena tanah-tanah di Jawa makin terbatas sedangkan tanah pertanian di luar Jawa masih lebih luas maka para pemilik modal kemudian mulai membuka perkebunan-perkebunan yang lebih besar di luar Jawa terutama di Sumatera. Tenaga-tenaga kerja yang diperlukan untuk perkebunan-perkebunan di Sumatera banyak didatangkan dari Jawa terutama untuk perkebunan tembakau Deli di Sumatera Timur yang sifatnya sangat padat karya.

Pulau Sumatera kemudian sangat penting dalam produksi tanaman-tanaman perdagangan untuk ekspor seperti karet, kelapa sawit, tembakau, kopi dan lada, dn Jawa terutama memproduksi tanaman-tanaman bahan makanan. Tanaman perdagangan yang lebih efisien diusahakan di Jawa adalah yang sifatnya lebih padat karya yaitu tebu, tembakau dan teh.

Pada waktu harga hasil ekspor pertanian sangat baik misalnya karet pada saat-saat perang dunia II dan perang Korea (1950-1952) maka Sumatera sebagai produsen karet utama mengalami zaman keemasan. Tanaman bahan makanan disana kurang menarik. Beras yang diperlukan fiimpor dari Jawa atau luar negeri. Namun keadaan ini berubah sesudah harga karet menurun dipasar dunia, terutama sejak munculnya saingan karet sintetis. Menjelang harga-harga beras yang terus menanjak dipasar dunia dan makin besarnya impor beras terutama oleh pulau Jawa, maka Sumatera dan daerah-daerah lain mulai mempergiat penanaman bahan makanan. Antara tahun 1963-1969, produksi padi di Sumatera saja naik 50,4% (7,1% tiap tahun), sedang di Jawa hanya 18,8% (2,9% tiap tahun).

Perkembangan ini menunjukkan makin pentingnya kedudukan Sumatera dan pulau-pulau luar Jawa pada umumnya dalam pertanian Indonesia dan makin gawatnya persoalan di Jawa. Penduduk di Jawa makin bertambah dengan pesat padahal produksi bahan makanan berkembang lambat. Produksi pertanian di Jawa makin terpusat pada produksi beras, makanan pokok penduduk dan kedudukan tanaman perdagangan makin kurang penting. Tanaman perdagangan seperti tebu, rosella dan tembakau yang menggunakan tanah-tanah yang disewa dari rakyat makin sulit mencari tanah. Hanya dengan bantuan peraturan tentang penjatahan (quota) tanah dan bantuan pemerintah maka tanaman-tanaman ini terjamin kebutuhan tanahnya. Ini pun hanya diperoleh dengan sewa tanah yang makin tinggi.

Tidak dapat dielakkan bahwa kegiatan pertanian harus lebih banyak lagi diarahkan keluar Jawa di mana tanah-tanah pertanian masih banyak tersedia. Perkembangan pertanian di luar Jawa akan berhubungan erat dengan kegiatan pembangunan daerah dan pemindahan tenaga kerja dari kelebihan penduduk di Jawa. Inilah masalah utama yang dihadapi dalam program transmigrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar